“Habisi !!!” teriak para komandan
regu dengan suara yang menggelegar.
Seketika itu juga berlompatanlah para
prajurit itu dengan pedang terhunus ke tengah-tengah lapangan yang
dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat ganas, pasukan
Mataram itu menyabetkan pedangnya ke kanan dan kiri, memenggal leher
siapa pun yang ada di dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu
laki-laki tua, perempuan, bahkan anak kecil. Jerit tangis, lolong
kesakitan, dan kumandang doa memenuhi angkasa alun-alun kraton malam
itu. Namun tak ada yang sanggup menghentikan kegilaan yang tengah
dipertontonkan pasukan Mataram yang notabene kebanyakan juga sudah
memeluk agama Islam.
Di atas bukit, Amangkurat I masih
berkacak pinggang menyaksikan pembantaian besar yang dilakukan
prajuritnya terhadap enam ribuan ulama, santri, dan seluruh
keluarganya. Kepalanya mengangguk-angguk puas. Sesekali jemarinya
memilin kumisnya yang tebal melintang. Dia benar-benar menikmati
pemandangan di bawahnya. Betapa ribuan orang yang tengah menanti ajal
itu sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi. Musuh-musuhnya akan
semakin sedikit. Dan dia akan bisa berkuasa dengan tenang, tanpa
diusik oleh siapa pun.
Raja Jawa itu merasa sangat aman berada
di atas bukit. Di sekelilingnya berdiri dengan kewaspadaan penuh
puluhan Trisat Kenya.
Dalam waktu teramat singkat, ribuan
nyawa melayang dengan kepala terpisah dari jasadnya. Tanah alun-alun
yang begitu luas seketika berubah menjadi lautan darah. Dari cahaya
ratusan tiang obor yang menyala di sekeliling alun-alun, terlihat
pasukan Mataram yang sudah belepotan darah itu masih saja bergerak
buas membunuh ke sana-kemari tanpa perlawanan. Pasukan yang sebagian
pernah ikut menyerang VOC di Batavia semasa kekuasaan Sultan Agung
itu kini berbalik menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.
Pembantaian yang sangat mengerikan itu
berlangsung tidak sampai setengah jam!
Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit
panjang tiga kali yang ditiup para pimpinan regu pasukan.
Penyembelihan telah berakhir. Semua orang yang ada di dalam daftar
berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat peluit itu,
Amangkurat I mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Buang semua mayat itu ke parit!
Sebagian prajurit yang masih bersiaga
dengan pedang terhunus berjajar satu lapis dalam jarak tiap lima
tombak mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka belepotan darah.
Prajurit yang lain menyambut datangnya gerobak-gerobak dorong yang
sudah dipersiapkan sebelumnya. Gerobak-gerobak itu segera saja diisi
dengan mayat-mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad hingga penuh.
Setelah gerobak penuh, prajurit yang membawa gerobak itu mendorongnya
ke arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam parit yang
berair deras menuju ke Kali Opak. Berkali-kali mereka melakukan itu,
mondar-mandir bagai kereta maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.
Air parit dan Kali Opak yang tadinya
jernih berubah menjadi kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium
di mana-mana.
Tanpa diketahui siapa pun, Wulung
Ludhira, bocah sepuluh tahun adik dari Dyah Jayengsari, ternyata
masih hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh mayat-mayat tanpa
kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya. Anak yang sudah ditinggal
ibunya sejak bayi itu menggigil ketakutan. Ayah dan kakak
satu-satunya sudah meninggal dengan cara yang sangat mengerikan. Dia
ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat oleh kengerian
yang teramat sangat. Bocah itu hanya bisa diam tak bergerak. Tubuhnya
dirasa amat lemas dan juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya
basah oleh darah kental yang membanjir di sekitarnya.
Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan
tubuh kecilnya ikut digotong dan dilempar ke dalam gerobak bersama
belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja menjadi satu. Bocah itu
sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia nyaris
tidak bisa bernafas.Tapi itu malah menyelamatkan nyawanya.
Bocah kecil itu bisa merasakan jika
gerobaknya ditarik dengan kasar oleh sejumlah prajurit. Roda-rodanya
yang terbuat kayu dilapis karet hitam berderak-derak sebentar, lalu
berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan gerobak tiba-tiba miring. Dia
bersama belasan mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad yang masih
hangat itu pun langsung meluncur bebas ke dalam parit yang deras
airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah dipenuhi mayat.
Walau pandai berenang, namun bocah itu
kesulitan menggerakkan tubuhnya disebabkan mayat dan kepala ada di
mana-mana. Dengan menahan kengerian yang teramat sangat, dia
berpegangan pada salah satu kaki jasad yang mengambang. Bocah kecil
itu terus mengikut kemana air membawanya.
Pekatnya malam membuatnya tak terlihat
oleh pasukannya Amangkurat I yang masih sibuk membersihkan alun-alun.
Bocah kecil itu kelelahan. Semua kejadian malam itu menguras seluruh
tenaga dan perasaannya. Akhirnya Wulung Ludhira pingsan. Dia terus
hanyut dibawa air hingga jauh dari alun-alun. Hingga tubuhnya
tersangkut akar beringin yang menjulur ke Kali Opak, beberapa
kilometer ke selatan Kraton Plered.
Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira
tak sadarkan diri. Ketika siuman, matahari sudah berada di atas
kepalanya. Bocah kecil itu mendapati dirinya masih tersangkut suluran
akar beringin yang tumbuh di pinggir kali. Sebagian badannya masih
terendam di bawah air kali. Di beberapa tempat, jasad tanpa kepala
dan kepala tanpa badan juga tersangkut. Kengerian yang teramat sangat
kembali menyergapnya. Walau seluruh tubuhnya sakit, dan juga lelah,
dengan sisa-sisa tenaga bocah kecil itu berusaha merangkak naik ke
pinggir kali, hingga dia tergeletak di atas rerumputan, satu meter
dari air kali.
Entah kini dia berada di mana. Bocah
itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada rumah barang
satu pun. Yang ada hanya hamparan rumput dengan tiga pohon beringin
besar yang tumbuh di dekat dirinya. Lainnya hanya berupa semak dan
tumbuhan perdu. Anak kecil itu tidak tahu nama tempat ini. Perutnya
yang tidak terisi sejak kemarin terasa perih. Tubuhnya dirasa makin
lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu akhirnya tak sadarkan diri
kembali. Dia tergeletak begitu saja di atas rerumputan, dinaungi
pohon beringin besar yang ada didekatnya.
Tak lama kemudian, seorang lelaki tua
bertelanjang dada, dengan kepala ditutupi caping yang sudah kusam,
mendekati bocah itu dengan hati-hati. Ketika mendapati ada bocah
kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki tua itu mengusap kepala
Wulung Ludhira dengan lembut. Bibirnya yang sudah sedikit keriput
tersenyum tulus. Dengan penuh hati-hati akhirnya dia menggendong
bocah itu dan bergegas pergi menghilang begitu saja ke arah barat…
[]